Mendorong Agri-industri Hijau
Harapan masyarakat agar
perusahaan agri-industri berkomitmen menjaga lingkungan semakin besar. Namun,
hasil Program Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) dalam pengelolaan
lingkungan hidup tahun 2012 menunjukkan dominasi peringkat hitam bagi
perusahaan perhotelan dan agriindustri. Dari 79 perusahaan berperingkat hitam,
ada 28 hotel dan 31 agriindustri.
Bagaimana penilaian Proper?
Apa upaya pendorong agri-industri agar berproduksi ramah lingkungan? Proper
merupakan program pengawasan dan pemberian insentif atau disintensif pada
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Tujuannya untuk mendorong usaha taat peraturan lingkungan hidup dan mencapai
keunggulan lingkungan (environmental excellency).
Jika dilihat hasil Proper
tahun 2011, dari 49 perusahaan berperingkat hitam ada 11 badan usaha milik
negara (BUMN), di antaranya enam agri-industri yang salah satunya perkebunan
sawit. Padahal, konsekuensi peringkat hitam akan ditindak sesuai proses
penegakan hukum lingkungan, termasuk penyidikan dan sanksi administratif. Ini
sangat memprihatinkan. Seluruh pemangku kepentingan mesti berupaya membangun
agri-industri berkelanjutan. Beberapa tahap dapat ditempuh.
Membangun standar kinerja
pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan adil. Banyak pihak mempertanyakan
hasil Proper dua tahun terakhir yang menempatkan perusahaan tambang mendominasi
peringkat emas. Padahal, pertambangan mengelupas permukaan tanah dan
menghancurkan biodiversitas. Jika reklamasi berjalan baik, pengembalian
mikroekosistem juga masih sangat lama dan tidak seperti sebelumnya.
Mesti diingat bahwa
biodiversitas merupakan kekayaan yang akan berguna di masa yang akan datang.
Sekarang banyak potensi biodiversitas di negeri ini, yang belum diketahui manfaatnya,
sudah rusak karena kelalaian berdalih mengejar pertumbuhan ekonomi. Ke depan,
agar pemeringkatan kinerja lingkungan usaha lebih baik, maka mesti ada
perbaikan kriteria.
Beberapa ahli lingkungan,
agri-industri, pertambangan, dan keanekaragaman hayati, serta pihak terkait
lain mesti dilibatkan dalam perbaikan kriteria dan penilaian. Dengan kriteria
yang lebih baik, hasil Proper akan semakin mendorong industri beroperasi ramah
lingkungan dan menjaga biodiversitas. Demikian juga bagi agri-industri.
Perbaiki
Syarat dan tata cara penilaian
Proper perlu diperbaiki. Saat ini, syarat peserta Proper adalah perusahaan
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), berdampak penting bagi lingkungan, dan
produknya berorientasi ekspor atau digunakan masyarakat luas. Padahal, banyak
usaha, khususnya agri-industi, belum memenuhi kriteria tersebut.
Banyak usaha belum tercatat di
BEI dan merupakan usaha kecil menengah (UKM). Kelompok usaha ini selayaknya
juga perlu dinilai jika ingin serius mengarahkan setiap usaha berstandar ramah
lingkungan. Jika kelompok ini tak efektif dari sisi Proper, semestinya dinilai
tersendiri dengan kriteria lain. Rumusan ini perlu dipikirkan lebih lanjut.
Selain itu, dibutuhkan pengembangkan standar spesifik tiap komoditas.
Untuk sawit, misalnya, negeri
ini mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) secara mandatory
paling lambat 2014. Standar ISPO strategis untuk mengurangi ketergantungan pada
standar sawit lain seperti, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang
bersifat voluntary sejak 2004. Citra positif perkebunan sawit nasional akan
meningkat. Biaya sertifikasi bagi produsen sawit dapat diperingan.
Penerimaan kriteria ISPO oleh
negara tujuan ekspor utama, seperti India dan China, mesti terus diupayakan.
Perundangan lain, seperti Undang-Undang (UU) No 12 tahun 1992 tentang Sistem
Budi Daya Tanaman, UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Keputusan Menteri
Pertanian No 486 Tahun 2003 tentang Pedoman Klasifikasi Perusahaan Perkebunan,
Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar dan Pedoman Budi Daya Tanaman Kelapa Sawit
perlu konsisten dijalankan, dan berbagai peraturan terkait lainnya.
Standar spesifik komoditas
lain, seperti gula, pulp & paper, dan agri-industri lain juga perlu terus
dikembangkan. Untuk itu diperlukan kerja sama Badan Standardisasi Nasional,
perguruan tinggi, pengusaha, lembaga riset, konsumen, dan pihak terkait
lainnya. Hal ini membutuhkan dukungan penuh lembaga pembiayaan yang menggunakan
Proper dan standar spesifik komoditas dalam mempertimbangkan pemberian kredit
usaha.
Ini tersirat dalam UU Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Stimulus
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pendukung industri ramah
lingkungan harus diperjelas. Hal ini akan meringankan beban proses revitalisasi
pabrik gula berumur tua sehingga lebih ramah lingkungan dan produktivitasnya
naik.
Kita berharap pabrik gula BUMN
tidak menjadi beban lingkungan yang dikeluhkan masyarakat sekitar pabrik,
seperti selama ini. Selain itu, produktivitas pabrik gula akan dapat
ditingkatkan untuk mengurangi impor yang terus terjadi. Di sisi lain, tuduhan
terhadap perkebunan dan industri minyak sawit yang tidak ramah lingkungan akan
terjawab dengan langkah nyata.
Misalnya, dengan
mengalokasikan dana untuk alat penyerap gas metana pada industri CPO. Sangat
penting untuk memacu industri hilir ramah lingkungan. Hal ini akan meningkatkan
nilai tambah dan membuka lapangan kerja. Adanya insentif yang dialokasikan bagi
petani dan pelaku industri membuat industri hilir tumbuh semakin pesat.
Kasus ekspor sawit, misalnya,
Malaysia 85 persen sudah berupa produk hilir, sedang Indonesia masih didominasi
minyak sawit mentah (CPO). Insentif ini dapat mengacu rekomendasi Kementerian
Lingkungan Hidup. Hal ini terkait pengurangan biaya masuk alat-alat instalasi
industri ramah lingkungan bagi produsen pengimpor, seperti instalasi pengolah
air limbah dan energi terbarukan.
Sanksi yang tegas dari
pemerintah dengan ancaman pidana atau perdata dapat diberlakukan, yaitu jika
produsen yang telah dididik cara produksi, mengelola lingkungan, dan
berinteraksi dengan masyarakat sekitar secara harmonis, namun produsen tersebut
tetap tak mengindahkan. Dengan tindakan tegas akan memberi efek jera bagi
pemain lain untuk tidak bermainmain dengan melakukan usaha yang dapat merusak
lingkungan.
Di sisi lain, konsumen mutlak
dididik untuk selalu memilih produk ramah lingkungan dalam memenuhi
kebutuhannya. Ini harus terus dikampanyekan. Perhatian terhadap lingkungan saat
ini akan menentukan kehidupan di masa depan. Karena itu, konsumen hendaknya
menjauhi produk perusahaan perusak lingkungan. Perlu perubahan dasariah
paradigma pendidikan, terutama di jenjang tinggi (PT).
Mahasiswa mesti diarahkan pada
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Ini sangat mendasar karena lulusan
PT merupakan aktor kunci pembangunan masa depan. Isu pembangunan yang
mengedepankan planet, people, and profit (3P) atau ramah lingkungan, bermanfaat
bagi masyarakat, dan menguntungkan, mesti diintregrasikan dalam mata kuliah.
Maka, berbagai standar
komoditas, produksi barang dan jasa perlu dikenalkan, termasuk berbagai standar
produksi ramah lingkungan. Misalnya, untuk industri pangan, Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan standar global seperti International Standard Organization
(ISO) Series. Jika tidak tersedia khusus standardisasi, materi tersebut dapat
diintregrasikan ke dalam mata kuliah lain. Misalnya, pembangunan agri-industri,
studi kelayakan proyek, sistem dan manajemen mutu, pengembangan produk.
Hal ini akan menumbuhkan
kesadaran pentingnya standar ramah lingkungan yang merupakan prasyarat dalam
pembangunan, kelayakan investasi, dan pengembangan produk. Upaya tersebut
diharapkan memberi kesadaran bahwa produksi ramah lingkungan tetap
menguntungkan. Harapan masyarakat dan konsumen terhadap produk agri-industri
berkelanjutan akan terjawab.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/110220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar