Jumat, 18 Januari 2013

Agri-industri Hijau


 Mendorong Agri-industri Hijau


Harapan masyarakat agar perusahaan agri-industri berkomitmen menjaga lingkungan semakin besar. Namun, hasil Program Peringkat Kinerja Perusahaan (Proper) dalam pengelolaan lingkungan hidup tahun 2012 menunjukkan dominasi peringkat hitam bagi perusahaan perhotelan dan agriindustri. Dari 79 perusahaan berperingkat hitam, ada 28 hotel dan 31 agriindustri.

Bagaimana penilaian Proper? Apa upaya pendorong agri-industri agar berproduksi ramah lingkungan? Proper merupakan program pengawasan dan pemberian insentif atau disintensif pada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Tujuannya untuk mendorong usaha taat peraturan lingkungan hidup dan mencapai keunggulan lingkungan (environmental excellency).

Jika dilihat hasil Proper tahun 2011, dari 49 perusahaan berperingkat hitam ada 11 badan usaha milik negara (BUMN), di antaranya enam agri-industri yang salah satunya perkebunan sawit. Padahal, konsekuensi peringkat hitam akan ditindak sesuai proses penegakan hukum lingkungan, termasuk penyidikan dan sanksi administratif. Ini sangat memprihatinkan. Seluruh pemangku kepentingan mesti berupaya membangun agri-industri berkelanjutan. Beberapa tahap dapat ditempuh.

Membangun standar kinerja pengelolaan lingkungan yang lebih baik dan adil. Banyak pihak mempertanyakan hasil Proper dua tahun terakhir yang menempatkan perusahaan tambang mendominasi peringkat emas. Padahal, pertambangan mengelupas permukaan tanah dan menghancurkan biodiversitas. Jika reklamasi berjalan baik, pengembalian mikroekosistem juga masih sangat lama dan tidak seperti sebelumnya.

Mesti diingat bahwa biodiversitas merupakan kekayaan yang akan berguna di masa yang akan datang. Sekarang banyak potensi biodiversitas di negeri ini, yang belum diketahui manfaatnya, sudah rusak karena kelalaian berdalih mengejar pertumbuhan ekonomi. Ke depan, agar pemeringkatan kinerja lingkungan usaha lebih baik, maka mesti ada perbaikan kriteria.

Beberapa ahli lingkungan, agri-industri, pertambangan, dan keanekaragaman hayati, serta pihak terkait lain mesti dilibatkan dalam perbaikan kriteria dan penilaian. Dengan kriteria yang lebih baik, hasil Proper akan semakin mendorong industri beroperasi ramah lingkungan dan menjaga biodiversitas. Demikian juga bagi agri-industri.

Perbaiki
Syarat dan tata cara penilaian Proper perlu diperbaiki. Saat ini, syarat peserta Proper adalah perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), berdampak penting bagi lingkungan, dan produknya berorientasi ekspor atau digunakan masyarakat luas. Padahal, banyak usaha, khususnya agri-industi, belum memenuhi kriteria tersebut.

Banyak usaha belum tercatat di BEI dan merupakan usaha kecil menengah (UKM). Kelompok usaha ini selayaknya juga perlu dinilai jika ingin serius mengarahkan setiap usaha berstandar ramah lingkungan. Jika kelompok ini tak efektif dari sisi Proper, semestinya dinilai tersendiri dengan kriteria lain. Rumusan ini perlu dipikirkan lebih lanjut. Selain itu, dibutuhkan pengembangkan standar spesifik tiap komoditas.

Untuk sawit, misalnya, negeri ini mengembangkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) secara mandatory paling lambat 2014. Standar ISPO strategis untuk mengurangi ketergantungan pada standar sawit lain seperti, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat voluntary sejak 2004. Citra positif perkebunan sawit nasional akan meningkat. Biaya sertifikasi bagi produsen sawit dapat diperingan.

Penerimaan kriteria ISPO oleh negara tujuan ekspor utama, seperti India dan China, mesti terus diupayakan. Perundangan lain, seperti Undang-Undang (UU) No 12 tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Keputusan Menteri Pertanian No 486 Tahun 2003 tentang Pedoman Klasifikasi Perusahaan Perkebunan, Pedoman Pembukaan Lahan Tanpa Bakar dan Pedoman Budi Daya Tanaman Kelapa Sawit perlu konsisten dijalankan, dan berbagai peraturan terkait lainnya.

Standar spesifik komoditas lain, seperti gula, pulp & paper, dan agri-industri lain juga perlu terus dikembangkan. Untuk itu diperlukan kerja sama Badan Standardisasi Nasional, perguruan tinggi, pengusaha, lembaga riset, konsumen, dan pihak terkait lainnya. Hal ini membutuhkan dukungan penuh lembaga pembiayaan yang menggunakan Proper dan standar spesifik komoditas dalam mempertimbangkan pemberian kredit usaha.

Ini tersirat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Stimulus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pendukung industri ramah lingkungan harus diperjelas. Hal ini akan meringankan beban proses revitalisasi pabrik gula berumur tua sehingga lebih ramah lingkungan dan produktivitasnya naik.

Kita berharap pabrik gula BUMN tidak menjadi beban lingkungan yang dikeluhkan masyarakat sekitar pabrik, seperti selama ini. Selain itu, produktivitas pabrik gula akan dapat ditingkatkan untuk mengurangi impor yang terus terjadi. Di sisi lain, tuduhan terhadap perkebunan dan industri minyak sawit yang tidak ramah lingkungan akan terjawab dengan langkah nyata.

Misalnya, dengan mengalokasikan dana untuk alat penyerap gas metana pada industri CPO. Sangat penting untuk memacu industri hilir ramah lingkungan. Hal ini akan meningkatkan nilai tambah dan membuka lapangan kerja. Adanya insentif yang dialokasikan bagi petani dan pelaku industri membuat industri hilir tumbuh semakin pesat.

Kasus ekspor sawit, misalnya, Malaysia 85 persen sudah berupa produk hilir, sedang Indonesia masih didominasi minyak sawit mentah (CPO). Insentif ini dapat mengacu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini terkait pengurangan biaya masuk alat-alat instalasi industri ramah lingkungan bagi produsen pengimpor, seperti instalasi pengolah air limbah dan energi terbarukan.

Sanksi yang tegas dari pemerintah dengan ancaman pidana atau perdata dapat diberlakukan, yaitu jika produsen yang telah dididik cara produksi, mengelola lingkungan, dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar secara harmonis, namun produsen tersebut tetap tak mengindahkan. Dengan tindakan tegas akan memberi efek jera bagi pemain lain untuk tidak bermainmain dengan melakukan usaha yang dapat merusak lingkungan.

Di sisi lain, konsumen mutlak dididik untuk selalu memilih produk ramah lingkungan dalam memenuhi kebutuhannya. Ini harus terus dikampanyekan. Perhatian terhadap lingkungan saat ini akan menentukan kehidupan di masa depan. Karena itu, konsumen hendaknya menjauhi produk perusahaan perusak lingkungan. Perlu perubahan dasariah paradigma pendidikan, terutama di jenjang tinggi (PT).

Mahasiswa mesti diarahkan pada untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Ini sangat mendasar karena lulusan PT merupakan aktor kunci pembangunan masa depan. Isu pembangunan yang mengedepankan planet, people, and profit (3P) atau ramah lingkungan, bermanfaat bagi masyarakat, dan menguntungkan, mesti diintregrasikan dalam mata kuliah.

Maka, berbagai standar komoditas, produksi barang dan jasa perlu dikenalkan, termasuk berbagai standar produksi ramah lingkungan. Misalnya, untuk industri pangan, Standar Nasional Indonesia (SNI) dan standar global seperti International Standard Organization (ISO) Series. Jika tidak tersedia khusus standardisasi, materi tersebut dapat diintregrasikan ke dalam mata kuliah lain. Misalnya, pembangunan agri-industri, studi kelayakan proyek, sistem dan manajemen mutu, pengembangan produk.

Hal ini akan menumbuhkan kesadaran pentingnya standar ramah lingkungan yang merupakan prasyarat dalam pembangunan, kelayakan investasi, dan pengembangan produk. Upaya tersebut diharapkan memberi kesadaran bahwa produksi ramah lingkungan tetap menguntungkan. Harapan masyarakat dan konsumen terhadap produk agri-industri berkelanjutan akan terjawab. 

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/110220


Tidak ada komentar:

Posting Komentar